Skip to content

Bagaimana Hukum Menjual Kulit Hewan Qurban?

Bagaimana hukum menjual kulit hewan qurban
Ilustrasi sapi qurban Idul Adha 1444 H (Foto: Pexels)
Waktu Baca: 3 menit

LAZIS JATENG – Momen hari raya Idul Adha erat kaitannya dengan ibadah qurban. Pada momen Idul Adha banyak masyarakat Indonesia yang menjual kepala dan kulit hewan qurban. Dari aspek hukum seringkali menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Motifnya beraneka ragam, mulai dari menumpuknya daging hewan qurban di daerah tersebut dikarenakan banyaknya sohibul qurban (mudhohi), sampai dengan alasan ketidakpraktisan dalam mengelola kepala dan kulit hewan qurban.

Lalu bagaimana hukum menjual kulit hewan qurban?

Hukum Menjual Kulit Hewan Qurban

Dilansir dari Buku Saku Fiqh Qurban, Qurban Kekinian yang ditulis oleh Dr. Oni Sahroni, Lc., M.A. Dr. Agus Setiawan, Lc., M.A. Mohamad Suharsono, Lc., M.E.Sy. Iwan Setiawan, Lc, menurut Jumhur ulama, pendapat Imam Ahmad yang masyhur, dan Abu Yusuf, kulit hewan qurban tidak boleh dijual sebagaimana zhahir nash hadits (Bidayatul Mujtahid, 349). Menurut pendapat ini, yang dibolehkan hanyalah memberikan kulit qurban kepada dhuafa sebagai sedekah, setelah itu ia memanfaatkannya atau menjualnya. Hal itu sudah menjadi haknya (dhuafa) karena sudah memilikinya. 

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Atho, Al-Auza’i, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan salah satu pendapat Syafiiyah kulit qurban boleh dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada penerima daging qurban (dhuafa). (Nailul Authar, 5/153) 

“Menjual kulit qurban dengan dirham untuk disedekahkan itu diperbolehkan.” (Tabyinul Haqaiq, 9/6) 

Pesan dari pendapat kedua tersebut adalah bahwa yang dilarang bukanlah menjual kulit qurban oleh mudhahi. Hal itu berdasarkan kepada telaah terhadap hadits hadits terkait, seperti riwayat dari Ali bin Abi Thalib RA, “Aku diperintah oleh Rasulullah Saw untuk mengurus qurbannya, menyedekahkan daging, kulit, dan bagianbagian lainnya.” (HR Muslim 1417). 

Hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu menjual daging qurban, makanlah, sedekahkanlah dan manfaatkanlah kulitnya dan janganlah kamu menjualnya, dan jika kamu diberi dari dagingnya, makanlah sekehendakmu.” (HR Ahmad 16210). Menurut Syaikh Al Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad (16210) hadits tersebut Dhaif. Namun sebagai landasan fadhail a’mal maka menguatkan hadits shahih sebelumnya. 

Hadits riwayat Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: 

“Siapa yang menjual kulit hewan qurban, ia tidak berqurban.” (HR Hakim 2/422). Menurut Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib (1088) hadits ini Hasan. 

Menurut hadis pertama (hadis Ali RA), seluruh bagian hewan qurban, baik dagingnya, susunya, kulitnya, dan bagian lain yang bisa dimanfaatkan statusnya adalah sedekah yang harus diberikan kepada fakir miskin. Maka menurut hadis ini, menjual kulit untuk diberikan hasil penjualannya kepada dhuafa hukumnya diperkenankan. 

Sementara menurut hadis kedua (hadis Abi Sa’id RA), menjelaskan tentang kebolehan memanfaatkan kulit hewan qurban (apa adanya). Adapun Hadis ketiga (hadits Abu Hurairah RA), menjelaskan bahwa orang yang menjual kulit hewan qurban maka hukumnya ia tidak berqurban. Teks hadis ini menunjukkan bahwa yang menjual itu adalah pequrban, dan berdasarkan makna hadis yang lain penjualan ini untuk kepentingan diri sendiri sehingga tidak diperbolehkan. 

Jika memaknai ketiga hadis tersebut, bisa disimpulkan bahwa menjual kulit qurban itu diperkenankan dengan syarat untuk para dhuafa, terlebih pada saat kulit qurban tidak banyak termanfaatkan apabila diberikan apa adanya sebagai sedekah. Oleh karena itu, yang dilarang dari pengelolaan kulit qurban bukanlah tindakan menjual itu sendiri, melainkan menjualnya dengan tidak untuk para penerima qurban, misalnya, dijual untuk dimanfaatkan oleh pequrban.

Tujuan berqurban adalah kebahagiaan bersama dengan menikmati daging qurban dari sisi penerima, dan dari sisi pequrban adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan mengurbankan hewan ternak pada hari-hari yang telah ditentukan. Pilihan untuk menjual kulit qurban itu lebih maslahat bagi para dhuafa dalam kondisi tertentu, di mana tidak semua dhuafa bisa atau tidak mudah memanfaatkan kulit qurban.

Bahkan, dalam beberapa kondisi, kulit tersebut menjadi sia-sia dan tak termanfaatkan saat tidak dijual. Adapun lembaga atau panitia yang mengadakan program qurban dengan menerima pembayaran sejumlah dana dari pequrban, membelikan hewan qurban, menyembelih atas nama pequrban, dan memberikan laporan kepada pequrban statusnya adalah wakil dari pequrban, bukan sebagai penerima atau wakil penerima daging qurban (dhuafa).

Status lembaga atau panitia sebagai wakil dari pequrban semakin jelas dan kuat apabila menerima ujrah dari pequrban atas pekerjaannya (wakalah bil ujrah). Dengan demikian, lembaga atau panitia qurban juga tidak diperkenankan menjual kulit qurban untuk kepentingan mereka.

Lembaga atau panitia qurban dalam kapasitasnya sebagai wakil mudhahi, jika harus menjual kulit qurban maka uangnya harus disedekahkan kepada dhuafa, atau uang hasil penjualan tersebut dibelikan hewan qurban yang baru lalu disembelih dan daging beserta kulitnya disedekahkan kepada dhuafa. Atau apabila dagingnya hendak disalurkan ke tempat yang lebih membutuhkan (jauh) sedangkan biayanya tidak mencukupi maka uang hasil penjualan kulit dapat digunakan untuk tambahan biaya penyaluran, karena biaya tersebut termasuk wasilah sampainya daging qurban kepada dhuafa.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Baca Lainnya

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *